![]() |
| Kisah Perjalananku: Dari Siswa SMP Terbuka dan “Tukang Ngarit” hingga Menjadi Guru |
Tahun 1995, aku menempuh pendidikan
di SMP Terbuka yang menginduk pada SMP Negeri 2 Jatipurno. Fasilitas belajar
saat itu sangat sederhana. Kami menumpang belajar di sebuah SD, dan hanya
bertemu guru dua kali dalam sepekan. Sebagian besar waktu kami belajar
mandiri.
“Saat itu kami belajar dari
modul-modul yang dibagikan guru pamong. Ada juga rekaman pembelajaran yang diputar
lewat kaset tape recorder bantuan pemerintah. Kami mendengarkannya bersama-sama
sebagai panduan belajar,” kenangku ketika mengingat masa itu.
Keterbatasan ekonomi membuatku harus
membagi waktu dengan disiplin. Setiap pagi sebelum sekolah, aku membantu
keluarga mencari rumput, menjadi “tukang ngarit” untuk pakan ternak. Setelah
itu barulah aku bisa fokus belajar. Banyak teman-temanku juga berada dalam
kondisi serupa—berangkat sekolah jauh, berjalan kaki, tanpa seragam layak,
bahkan tanpa sepatu. Sebagian besar dari keluarga petani atau kuli bangunan.
Tapi meski serba sulit, semangat untuk sekolah tidak pernah padam.
Namun perjuangan kami tidak hanya
soal ekonomi. Menjadi siswa SMP Terbuka berarti harus siap menghadapi stigma
dari masyarakat. Banyak teman seangkatanku akhirnya berhenti sekolah.
“Dari ratusan siswa yang mendaftar,
hanya tinggal puluhan yang bertahan. Banyak yang menikah muda, merantau, atau
berhenti begitu saja,” ceritaku.
Aku sendiri memilih bertahan.
Bahkan, aku mendapat kepercayaan mewakili sekolah dalam Lomba Motivasi Belajar
Mandiri tingkat provinsi (Lomojari). Saat kelulusan, nilai ujian akhirku justru
melampaui sebagian besar siswa SMP reguler. Dari situlah aku semakin yakin
bahwa jalur pendidikan alternatif bukan penghalang untuk berprestasi.
Dorongan dari guru pamong membuatku
melanjutkan pendidikan ke SMK, lalu ke perguruan tinggi. Semangat mandiri yang
kutanam sejak SMP Terbuka terus kubawa. Selama kuliah, aku bekerja di jasa
pengetikan, rental komputer, hingga servis komputer untuk membiayai kebutuhan
studi. Berat, tetapi aku menikmatinya sebagai bagian dari perjalanan.
Kerja keras itu akhirnya berbuah
manis. Tahun 2008 aku lulus sebagai Sarjana Komputer (S.Kom), dan di tahun
berikutnya Allah memberiku rezeki besar—aku lolos seleksi CPNS dan ditempatkan
di Ponorogo. Hingga kini, aku mengabdikan diri sebagai guru di SMK Negeri 2
Ponorogo, Jawa Timur.
Untuk adik-adik yang saat ini
belajar di jalur non-formal seperti SMP Terbuka atau Kejar Paket, izinkan aku
menyampaikan satu pesan:
“Jangan pernah berkecil hati. Status
sekolah bukan penentu masa depan. Fasilitas yang terbatas justru bisa menjadi
pemicu untuk membuktikan diri. Yang menentukan adalah tekad, semangat belajar,
dan keberanian untuk terus melangkah.”
Di akhir kisah ini, aku ingin
menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada bapak dan ibu guru yang
telah memberikan motivasi, semangat, dan bimbingan selama perjalanan hidupku.
Semoga setiap kebaikan dan dedikasi para pendidik mendapat balasan terbaik dari
Allah SWT.
“Selamat Hari Guru,” salam hormat
dari muridmu. (Tarmin)

2 komentar untuk "Kisah Perjalananku: Dari Siswa SMP Terbuka dan “Tukang Ngarit” hingga Menjadi Guru"